Sabtu, 04 Agustus 2012

ONTOLOGI FILSAFAT


Salah satu adab berfilsafat adalah meluruhkan kesombongan, salah satu cirri kesombongan yaitu tidak mau belajar dan mempelajari. Status guru menandai ada guru, keberadaan guru berimplikasi bahwa guru harus mengada, untuk dapat mengada guru harus memproses melalui membaca, belajar, berinteraksi dan bersentesa dengan seluruh yang berhubungan dengan guru itu sendiri. Proses akan paripurna jika seorang guru sudah bisa jadi pengada.
Komitemen jadi guru matematika, tidak harus menjadikan guru menutup diri dengan ilmu yang lainnya. Guru matematika tidak harus hanya mau dan mampu berinteraksi di dunianya sendiri, ilmu matematika akan berkembang jika mampu bersintesa dengan ilmu lainnya.
Adab yang lainnya adalah membangun hidup, untuk membangun hidup diperlukan kesadaran bahwa hidup harus berjalan di jalan yang lurus ( Shirotol Mustakim ). Tidak mudah untuk memilih jalan yang lurus, karena jalan yang seakan lurus ternyata berkelok – kelok dan berputar – putar.  Untuk menemukan suatu kebenaran tidak mudah, tidak lurus – lurus saja tetapi kadang dan sering berkelok – kelok dan berputar – putar tapi untuk tidak itu tidak harus dijadikan alasan untuk berputus asa, terus berjalan untuk menemukan suatu kebenaran. Perjalanan yang berkelok – kelok itu kalau ditarik akan menjadi lurus seperti spiral. Masing – masing manusia mempunyai talenta, olah pikir dan olah hati yang berbeda yang berimbas pada banyak kelokan dan putaran yang dilalui untuk sampai jadi lurus. Semakin tinggi kemampuan olah pikir dan olah hati maka semakin pendek kelokan yang dilalui. Inilah hidup selalu dinamis tidak linear.
Disamping adab berfilsafat diperlukan juga identifikasi penyakit – penyakit yang perlu dihindari agar mudah dalam berolah pikir dan olah hati sehingga mudah untuk mencapai Shirotol Mustakim, penyakit tersebut adalah :
1. Parsial
2. Tidak kompreshensif
3. Mis komunikasi
4. Terputus
5. Tidak dijelaskan
6. Tidak bisa dipercaya
7. Salah paham dalam hati, pikiran dan badan
8. Memaksakan kehendak
Penyakit – penyakit tersebut menyebabkan hidup linear, monoton dan homogen padahal nyatanya hidup ini dinamis berwarna. Badan manusia berupa – rupa tentukan berimpilkasi pada pikiran dan hati juga, sehingga sangat salah jika memaksakan hidup ini homogeny harus sama. Interaksi antar sesama akan menjadikan hidup ini akan dinamis dan tidak monoton, jika interkasi ini monoton maka akan timbul kejenuhan – kejenuhan dalam berinteraksi, ini adalah awal kemandekan dalam bersintesa.
Kemampuan bersintesa juga dapat diperoleh jika terjadi kontradiksi, selama terjadi kontradiksi – kontradiksi maka akan senantiasa lahir sintesa – sintesa yang sangat bermanfaat bagi berkembangnya ilmu yang berujung pada kebermanfaatannya dalam hidup. Sintesa – sintesa itu tidak harus dinilai benar salahnya, yang terpenting adalah penjelasan dari sintesa tersebut. Sintesa tidak aka nada manfaat jika tidak ada penjelasan dan juga penjelasan melebihi dosis ini juga merupakan suatu penyakit dalam berfilsafat.
Agar dapat terhindar dari penyakit – penyakit tersebut maka perlukan :
1. Sopan santun terhadap ruang dan waktu, kalau konteksnya matematika maka perlu sopan santun terhadap matematika, sopan santun pada ilmu untuk konteks ilmu. Agar sopan santun terhadap ilmu perlu tahu banyak tentang ruang dan waktu.
2. Senantiasa refleksi diri, setiap kejadian pada manusia kecil atau besar harus senantiasa dijadikan bahan refleksi diri.
3. Menghilangkan ego, manusia susah melihat diri sendiri karena ego, sifat pada manusia unlimited. Ego yang menjadikan manusia mereduksi ( menyederhanakan ) sehingga manusia senantiasa berfikir parsial tidak holistic
Pertanyaan
1. Apakah ada pengaruh antara pemisahan ilmu – ilmu di sekolah dengan pola pikir parsial dewasa ini ?
2. Apakah ada pengaruh antara persepsi kebermanfaatan bagi kehidupan manusia secara signifikan terhadap budaya refleksi hal – hal yang sepele ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar