Oleh
MUHAMMAD SUHADAK,S.Pd
1. Sejarah
Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan
filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat
mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah,
yakni tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2)
Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat
Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
Dari ketiga tradisi sejarah
tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan
perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan
orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah
Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak,
yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi
sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih
memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan,
moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di
dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan pada tradisi Sejarah
Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400
SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai
mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang
dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché,
sedangkan Anaximander (sekitar 610
-540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak
terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan
unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah
Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan
bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu
itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa
segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500
SM) yang mengajar di Itali Selatan Ia memimpin suatu sekolah filsafat yang kelihatannya
sebagai suatu biara di bawah perlindungan dari dewa Apollo. Sekolah Pythagoras
sangat penting untuk perkembangan matematika. Ia berpendapat bahwa
segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan
itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang
menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang
selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung
secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah
hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche),
itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi)
yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos)
dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu
dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah
sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja
ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih
belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi)
melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam
kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui
suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat
sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat
inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah).
Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material
utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi
melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori
ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat
Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM) melalui “dialektika”,
Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari
Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya,
tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam
tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam
karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal
ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau
bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena
itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan
jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang
tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai
sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam
dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi,
etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles pendidik Iskandar Agung sebagai murid
Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang
diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam
dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak
pada kenyataan/benda-benda itu sendiri ( Realisisme ). Setiap benda mempunyai
dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk
(“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa
materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian
maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan
kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi
logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam.
Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan
ilmu pengetahuan
2. Jaman
Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad
Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran
keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa
Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri
dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau
Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari
Alexandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane (330-390),
Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius
(315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430).
Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada
intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan
pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh
dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan
akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun
1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran
Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam,
terutama melalui Avicena (Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd,
1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar
sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang
banyak membahas karya Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan
pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting
sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu,
dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”,
“guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara
dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat
internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman
dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan
melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan
Filsafat) bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan
sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat
dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur
hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang pusat
peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme). Teori
ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme
(Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh
Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari
otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi
Ilmu Pengetahuan
Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman
Modern adalah jaman “Renesanse”, periode sekitar 1400-1600.
Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527), Th.
Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626).
Pembaharuan yang sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya
pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno,
atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada
jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650), B.
Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas
menekankan pentingnya kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam
mengembangkan pengetahuan manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki
perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman
Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan pemikiran
filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”,
Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut sebagai para
“empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah
mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para
empirikus besar Inggris antara lain J.
Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis
JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah
peranan filsuf Jerman Immanuel Kant, yang dapat dianggap sebagai inspirator dan sekaligus sebagai peletak
dasar fondasi ilmu, yakni dengan “mendamaikan” pertentangan epistemologik
pengetahuan antara kaum rasionalisme versus kaum empirisme. Immanuel Kant dalam
karyanya utamanya yang terkenal terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der
reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah baru
mengenai filsafat pengetahuan.
Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu
konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran
pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang
salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya
dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan dihimpun
setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system)
manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah
mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant,
empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki
manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan
yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah
ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan
menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil
sebagai benda itu sendiri
4.
Masa Kini: Suatu Peneguhan
Ilmu Yang Otonom
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas
perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar:
rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah
yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan
belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan
aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu.
Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak
spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian: positivisme,
marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan
fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu
Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang
digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat
dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis,
dan (3) Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini
pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah,
artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan
dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat,
luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”,
dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika
Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami,
karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih
“mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu
alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang
berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer)
setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran
filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya
Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara
lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan
sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu
pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan,
teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter
L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur
ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu
tidak lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal ada
dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain berkaitan
dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat
atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam
filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu (Filsafat
Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan
mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode
ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari
ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan
umpan-balik bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis
dalam pokok bahasannya (survey of
sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World (dalam
Hamersma, 1981:48)
PERTANYAAN
1. Perkembangan matematika sekolah saat ini kencendurungan mengikuti
pemikiran filsuf yang mana ?
2. Apakah para pemikir Cina dengan agama Budhanya tidak termasuk para
filsuf ?
3. Apa perbedaan antara filsafat dengan agama ?
4. Apakah ajaran – ajaran agama tidak termasuk filsafat ?
5. Apakah ideologi Negara tidak termausk filsafat ?
PUSTAKA:
Gordon, Scott. 1991. The history and
philosophy of social science. New York: Routledge.
Hamersma, Harry,. 1981. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Lanur, Alex ,. 1985. Logika: Selayang Pandang.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sonny Keraf, A. dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu
Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wallace, Walter L. 1971. The Logic of
Science in Sociology. New York: Aldine Publishing Company
Wedberg, Anders. 1982. A History of
Philosophy. Oxford: Clarendon Press. Vol 1 & 2.