Salah
satu adab berfilsafat adalah meluruhkan kesombongan, salah satu cirri
kesombongan yaitu tidak mau belajar dan mempelajari. Status guru menandai ada
guru, keberadaan guru berimplikasi bahwa guru harus mengada, untuk dapat
mengada guru harus memproses melalui membaca, belajar, berinteraksi dan
bersentesa dengan seluruh yang berhubungan dengan guru itu sendiri. Proses akan
paripurna jika seorang guru sudah bisa jadi pengada.
Komitemen
jadi guru matematika, tidak harus menjadikan guru menutup diri dengan ilmu yang
lainnya. Guru matematika tidak harus hanya mau dan mampu berinteraksi di
dunianya sendiri, ilmu matematika akan berkembang jika mampu bersintesa dengan
ilmu lainnya.
Adab
yang lainnya adalah membangun hidup, untuk membangun hidup diperlukan kesadaran
bahwa hidup harus berjalan di jalan yang lurus ( Shirotol Mustakim ). Tidak
mudah untuk memilih jalan yang lurus, karena jalan yang seakan lurus ternyata
berkelok – kelok dan berputar – putar.
Untuk menemukan suatu kebenaran tidak mudah, tidak lurus – lurus saja
tetapi kadang dan sering berkelok – kelok dan berputar – putar tapi untuk tidak
itu tidak harus dijadikan alasan untuk berputus asa, terus berjalan untuk
menemukan suatu kebenaran. Perjalanan yang berkelok – kelok itu kalau ditarik
akan menjadi lurus seperti spiral. Masing – masing manusia mempunyai talenta,
olah pikir dan olah hati yang berbeda yang berimbas pada banyak kelokan dan
putaran yang dilalui untuk sampai jadi lurus. Semakin tinggi kemampuan olah
pikir dan olah hati maka semakin pendek kelokan yang dilalui. Inilah hidup
selalu dinamis tidak linear.
Disamping
adab berfilsafat diperlukan juga identifikasi penyakit – penyakit yang perlu
dihindari agar mudah dalam berolah pikir dan olah hati sehingga mudah untuk
mencapai Shirotol Mustakim, penyakit tersebut adalah :
1. Parsial
2. Tidak
kompreshensif
3. Mis
komunikasi
4. Terputus
5. Tidak
dijelaskan
6. Tidak bisa
dipercaya
7. Salah paham
dalam hati, pikiran dan badan
8. Memaksakan
kehendak
Penyakit
– penyakit tersebut menyebabkan hidup linear, monoton dan homogen padahal
nyatanya hidup ini dinamis berwarna. Badan manusia berupa – rupa tentukan
berimpilkasi pada pikiran dan hati juga, sehingga sangat salah jika memaksakan
hidup ini homogeny harus sama. Interaksi antar sesama akan menjadikan hidup ini
akan dinamis dan tidak monoton, jika interkasi ini monoton maka akan timbul
kejenuhan – kejenuhan dalam berinteraksi, ini adalah awal kemandekan dalam
bersintesa.
Kemampuan
bersintesa juga dapat diperoleh jika terjadi kontradiksi, selama terjadi
kontradiksi – kontradiksi maka akan senantiasa lahir sintesa – sintesa yang
sangat bermanfaat bagi berkembangnya ilmu yang berujung pada kebermanfaatannya
dalam hidup. Sintesa – sintesa itu tidak harus dinilai benar salahnya, yang
terpenting adalah penjelasan dari sintesa tersebut. Sintesa tidak aka nada
manfaat jika tidak ada penjelasan dan juga penjelasan melebihi dosis ini juga
merupakan suatu penyakit dalam berfilsafat.
Agar
dapat terhindar dari penyakit – penyakit tersebut maka perlukan :
1. Sopan santun terhadap ruang dan
waktu, kalau konteksnya matematika maka perlu sopan santun terhadap matematika,
sopan santun pada ilmu untuk konteks ilmu. Agar sopan santun terhadap ilmu
perlu tahu banyak tentang ruang dan waktu.
2. Senantiasa refleksi diri, setiap
kejadian pada manusia kecil atau besar harus senantiasa dijadikan bahan
refleksi diri.
3. Menghilangkan ego, manusia susah
melihat diri sendiri karena ego, sifat pada manusia unlimited. Ego yang
menjadikan manusia mereduksi ( menyederhanakan ) sehingga manusia senantiasa
berfikir parsial tidak holistic
Pertanyaan
1. Apakah ada pengaruh antara
pemisahan ilmu – ilmu di sekolah dengan pola pikir parsial dewasa ini ?
2. Apakah ada pengaruh antara
persepsi kebermanfaatan bagi kehidupan manusia secara signifikan terhadap
budaya refleksi hal – hal yang sepele ?