BAB
I
PENDAHULUAN
Matematika
bagi seseorang merupakan suatu kesenangan mental yang mengandung sifat ilmiah
dan kunci guna memahami gejala – gejala alam, teknik, dan masyarakat. Tetapi
bagi banyak orang, matematika itu menimbulkan kenangan masa sekolah yang
memberatkan dan menganggap matematika merupakan “buku yang terkunci dengan
tujuh segel”, yang dihadapi tanpa ada hubungan atau pengertian sedikitpun.
Perbedaan
pendapat sangat mencolok tersebut, penyebab utamanya adalah cara pengajaran
matematika itu sendiri. Pendapat tersebut, selaras dengan pendapat Piaget (
Herman Maer, 1966, hal 1 ) “ suatu kelompok siswa yang cukup cerdas dan bahkan
dalam mata pelajaran lain dapat membuktikan hasil yang baik sekali, dalam
pelajaran matematika sedikit banyak secara sistematis memenuhi kegagalan”.
Menurut Strunz ( ibid hal 1 ) “ sama sekali tidak benar, hasil belajar seorang
pelajar dalam bidang studi matematika, hanya karena mempunyai bakat atau tidak
mempunyai bakat, dan adanya atau tidak adanya kerajinan dalam mata pelajaran
tersebut.”
Pendapat
Piaget dan Strunz pendapat di atas menegaskan bahwa masalah utama kegagalan
matematika sekolah menjadi mata pelajaran yang sulit, tidak menyenangkan dan
menjadi momok siswa terletak pada proses pembelajarannya, bukan karena bakat
atau kerajinan . Pemilihan skema oleh guru dalam pembelajaran sangat menentukan
keberhasilan dan kegagalan matematika sekolah menjadi mata pelajaran yang
menyenangkan dan familiar bagi siswa. Dari tahun ke tahun, dari kurikulum pra
1975 sampai pada kurikulum Standar Isi, telah banyak direkomendasikan
pendekatan, strategi, model, metode dan teknik ( skema ) dalam proses
pembelajaran, tetapi hasilnya belum cukup mengembirakan. Keberhasilan yang
diklaim seseorang dengan skema tertentu lebih bersifat keberhasilan parsial
dalam ruang dan waktu tertentu tidak bersifat holistik. Keberhasilan di suatu
tempat tidak menjamin akan menjadi keberhasilan di tempat yang berbeda.
Keberhasilan di suatu waktu tidak menjamin akan menjadi keberhasilan di waktu
yang lain.
Berdasarkan
uraian di atas, timbul suatu pertanyaan skema pembelajaran yang bagaimana yang
relatif permanen, sehingga matematika sekolah menjadi menyenangkan dan familiar
dengan siswa ? Dari hasil perenungan penulis maka penulis memberikan suatu
altenatif skema pembelajaran yaitu skema yang dikembangkan melalui pendekatan
filsafat. Skema tersebut penulis sebut
dengan “ KETAKJUBAN CURIOSITY KOMUNIKASI ( KCK )”.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Ketakjuban dan Curiosity
Filsafat berawal dengan ketakjuban.
Inilah pandangan Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP
155d) dan digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad. Takjub dalam
pengertian ini bukan sekadar bengong tertegun, melainkan penasaran
terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang menggiring manusia
untuk mencari makna yang mendasar di balik
keragaman hayati manusia, yang mendorong manusia ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang
selalu baru.
Ketakjuban berkaitan
terutama dengan kekaguman manusia terhadap pengalamannya yang amat beragam, khususnya pengalaman yang
menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab dengan penalaran logis belaka, tetapi
dengan mengalami pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis
yang paling dasar ialah ketakjuban tentang makna
kehidupan. Manusia tak bisa memuaskan
ketakjuban itu cuma dengan menyusun teori metafisis, mempertajam keterampilan
pemikiran logis , atau memperdalam kedalaman dan jangkauan pengetahuan .
Alih-alih, makna kehidupan muncul secara bertahap dari kemauan manusia untuk terbuka
terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib”
Blaise Pascal (1623-1662)
ialah salah satu contoh filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang
terdapat pada pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan antara pengakuan
semacam itu dan ketakjuban filosofis. Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi
dengan pasal-pasal yang mengungkapkan ketegangan eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini:
What a
chimera then is man! What a novelty! What a monster, what a chaos, what a
contradiction, what a prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the earth;
depositary of truth, a sink of uncertainty and error; the pride and refuse of
the universe!
… Know
then, proud man, what a paradox you are to yourself. Humble yourself, weak
reason; be silent, foolish nature; learn that man infinitely transcends man,
and learn from your Master your true condition, of which you are ignorant. Hear
God….
Whence it
seems that God, willing to render the difficulty of our existence
unintelligible to ourselves, has concealed the knot so high, or better
speaking, so low, that we are quite incapable of reaching it; so that it is not
by the proud exertions of our reason, but by the simple submissions of reason,
that we can truly know ourselves. (PP 434)
(Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil!
Betapa mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa aneh! Penimbang
segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga kebenaran, benaman ketidakpastian dan
kekeliruan; harga diri dan sampah alam semesta!
… Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah
paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah dirimu, akal nan lembik;
heninglah, alam nan tolol; ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara
tak terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu, yang takkan
kauketahui. Simaklah Tuhan. …
Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita
sendiri hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak terpahami,
menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi atau, dengan kata lain yang lebih
baik, begitu rendah, sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya;
sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar kepala, melainkan dengan
menyerahkan akal begitu saja, bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita
sendiri.) (PP 434)
Paradoks-paradoks Pascal
membawa manusia melampaui cara pandang kealamannya sehari-hari, dan memperhadapkan manusia dengan kenyataan
transenden yang misterinya mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk
hati .
2.
Komunikasi
Bagaimanakah
seharusnya guru melihat pelaksanaan interaksi dengan siswanya? Kecuali untuk
hal yang sangat berlainan, semua guru diharuskan dapat mengadakan interaksi
dengan baik tanpa bantuan seorang ahli kependidikan.
Interaksi
antara manusia dewasa banyak mengalami kegagalan karena tidak semua pihak
memperhatikan apa yang dimaksud oleh yang lain. Persoalan interaksi di dalam
kelas, bagi guru sering merupakan kesulitan karena komunikasi berlangsung
antara orang dewasa dengan yang belum dewasa. Apalagi bila diingat bahwa
komunikasi dan interaksi itu harus bersifat khusus, yakni edukatif. Bukan hanya
menyampaikan pikiran – pikiran dan narasi, tetapi menyampaikan pikiran –
pikiran dan narasi yang mendidik.
Persoalan
interaksi tidak terlepas dari persoalan komunikasi. Interaksi siswa dengan guru
terletak pada komunikasi yang baik serta hubungan yang terjadi dalam
menyampaikan suatu pesan ( message ). Jadi, interaksi juga tidak terlepas dari
unsur – unsur yang terdapat dalam komunikasi, seperti adanya komunikator,
komunikan, pesan dan media. Keempat unsur ini akan melahirkan umpan balik yang
disebut interaksi. Dengan demikian, konsepsi komunikasi mengandung pengertian
memberitahukan pesan, pengetahuan, pikiran – pikiran dengan maksud menggugah
partisipasi seorang komunikan, sehingga persoalan – persoalan yang dibicarakan
menjadi milik dan tanggung jawab bersama
Secara
garis besar, Surakhmad ( Mukhtar, 2007, hal. 8 ), menggolongkan interaksi
menjadi tiga :
a. Pengalaman
riil, yakni segenap media di dalam dunia kehidupan sehari – hari.
b. Pengalaman
buatan, yakni segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan
pengertian pada pengalaman riil.
c. Pengalaman
verbal, dimana bahasa adalah alat utama, baik lisan maupun tulisan.
3.
Pembelajaran
Dari sebuah perspektif
filosofi, pembelajaran dapat diduskusikan di bawah judul epistemologi yang
mengacu pada studi tentang asal mula, karakteristik, batasan – batasan dan
metode – metode pengetahuan. Bagaimana kita bisa tahu? Bagaimana kita bisa
belajar sesuatu yang baru? Apa yang menjadi sumber dari pengetahuan?
Kompleksitas tentang bagaimana manusia belajar diilustrasikan dalam kutipan
teks dari meno yang ditulis oleh Plato ( 427 – 347 SM ) :
Aku tahu apa maksudmu,
Meno....kau berkata bahwa seorang manusia tidak dapat menanyakan (sic ) tentang
hal yang diketahuinya; karena jika ia tahu, ia tidak perlu bertanya ( sic );
dan jika ia tahu, ia tidak bertanya; karena ia tidak tahu perihal yang harus ia
tanyakan ( sic ). ( 1956, hal.16 ).
Dua posisi yang ada
pada asal mula pengetahuan dan keterkaitannya dengan lingkungannya adalah
rasionalisme dan empirisme. Kedua posisi ini dapat dikenali dalam teori – teori
pembelajaran dewasa ini.
Rasionalisme mengacu
pada gagasan bahwa pengetahuan diperoleh dari akal tanpa melalui panca indera.
Perbedaan antara pikiran dan materi yang sangat ditonjolkan dalam pandangan –
pandangan rasionalis terhadap pengetahuan manusia dapat dirunut dari Plato yang
membedakan antara pengetahuan yang didapatkan dari panca indera dan pengetahuan
yang didapat dari akal. Plato menyakini bahwa benda – benda ( misalnya : rumah,
pohon ) ditampilkan manusia melalui panca indera, sementara tiap – tiap
induvidu memperoleh ide – ide dari menalar atau berpikir tentangnya. Akal
merupakan perangkat mental tertinggi karena melalui akal manusia mempelajari
gagasan – gagasan abstrak. Karakteristik yang sejati dari rumah dan pepohonan
dapat diketahui hanya dengan memikirkan gagasan – gagasan tentang rumah dan
pepohonan.
Plato terbebas dari
dilema yang ditampilkan daam Meno dengan cara berasumsi bahwa pengetahuan
sejati atau pengetahuan tentang gagasan – gagasan itu merupakan bawaan sejak
lahir dan dibawa ke alam sadar melalui perenungan atau aktivitas berpikir.
Balajar adalah mengingat kembali apa yang telah ada di dalam pikiran. Informasi
yang diperoleh melalui panca indera dengan cara mengamati, mendengarkan,
merasai, membuai, atau menyentuh merupakan bahan – bahan mentah, bukan gagasan.
Pikiran manusia telah terstruktur dari lahir untuk tujuan berpikir dan memberi
makna pada informasi – informasi yang datang dari indera.
Doktrin rasionalis juga
dapat ditemukan dalam tulisan – tulisan Rene Descartes ( 1596 – 1650 ), seorang
filsuf dan ahli matematika Perancis. Descartes menggunakan keraguan sebagai
suatu metode penelitian. Dengan meragukan ia sampai pada kesimpulan –
kesimpulan yang merupakan kebenaran mutlak, bukan kesimpulan – kesimpulan yang
tunduk pada keraguan. Kenyataan bahwa ia dapat meragukan menuntunnya pada
keyakinan bahwa akal ( pikiran ) itu ada, sebagaimana yang disampaikannya dalam
sebuah ungkapan, “ Aku berpikir, maka aku ada” ( I think, therefore I am ).
Melalui pemikiran deduktif yang bermula dari premis – premis umum lalu mengarah
ke contoh – contoh spesifik, ia membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan
menyimpulkan bahwa gagasan – gagasan yang diperoleh melalui akal pasti benar.
Seperti Plato, Descartes
membentuk dualisme pikiran – materi, tetapi bagi Descartes dunia eksternal itu
mekanis seperti halnya perilaku binatang. Manusia berbeda karena kemampuannya
untuk berpikir. Jiwa manusia, atau kapasitas untuk menalar, mempengaruhi
tindakan – tindakan mekanis tubuh, tetapi tubuh bertindak berdasarkan pikiran
dengan cara membawa masuk pengalaman – pengalaman indrawi. Meskipun Descartes
mendalilkan dualisme, ia juga membuat hipotesis tentang interaksi pikiran dan
materi.
Perspektif rasionalis
dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant ( 1924 – 1804 ).
Dalam tulisannya yang berjudul Critique of Pure Reason ( 1781 ), Kant
membicarakan tentang dualisme pikiran – materi dan mengatakan bahwa dunia
eksternal itu tidak teratur tapi dirasakan teratur karena ada keteraturan yang
diberikan oleh pikiran. Pikiran membawa masuk dunia eksternal melalui panca
indera dan mengubahnya menurut aturan – aturan yang subyektif dan telah ada
sejak lahir. Dunia tidak pernah dapat diketahui sebagimana apa adanya. Dunia
hanya diketahui sebagaimana ia dirasakan. Persepsi – persepsi manusia
memberikan keteraturan terhadap dunia. Kant menekankan kembali peran akal
sebagai sebuah sumber pengetahuan, tetapi ia berpendapat bahwa akal beroperasi
dalam ranah pengalaman. Pengetahuan mutlak yang tidak tersentuh oleh dunia
eksternal tidak memiliki keberadaan. Pengetahuan itu empiris dalam artian bahwa
informasi dibawa masuk dari dunia, lalu diinterpretasikan oleh pikiran.
Ringkasannya,
rasionalisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa pengetahuan muncul melalui
pikiran. Meskipun terdapat dunia eksternal yang menjadi sumber informasi
inderawi seseorang, ide – ide berasal dari aktivitas – aktivitas pikiran.
Descartes dan Kant menyakini bahwa akal bertindak berdasarkan informasi yang
didapatkan dari dunia. Plato berpikir bahwa pengetahuan dapat bersifat absolut
dan diperoleh melalui akal murni.
Kebalikan dari
rasionalisme, empirisme mengacu pada pemikiran bahwa pengalaman adalah satu –
satunya sumber pengetahuan. Sudut pandang ini berasal dari Aristoteles ( 384 –
322 SM ). Aristoteles adalah siswa dan penerus Plato. Aristoteles tidak membuat
garis pemisah yang tajam antara pikiran dan materi. Dunia eksternal merupakan
landasan bagi persepsi – persepsi inderawi manusia yang nanti pada gilirannya
akan diinterpretasikan sebagai sesuatu yang tetap dengan aturan – aturannya
sendiri ( konsisten, tidak berubah ) oleh pikiran Hukum – hukum alam tidak
dapat ditemukan melalui persepsi inderawi, tetapi melalui akal ketika pikiran
memasukkan data dari lingkungan. Tidak seperti Plato, Aristoteles berpandangan
bahwa ide – ide tidak hadir sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah
dari dunia eksternal. Dunia eksternal merupakan sumber dari segala pengetahuan.
Aristoteles memberikan
sumbangan penting ilmu psikologi dengan prinsip – prinsip asosiasinya yang
diterapkan terhadap memori. Ingatan akan suatu obyek atau gagasan memicu obyek
– obyek atau gagasan – gagasan lainnya yang mirip dengan, atau berbeda dari,
atau yang dekat jarak atau waktu pengalamannya dari, obyek atau ide awalnya.
Makin besar hubungan atau asosiasi antara dua obyek atau dua ide, makin besar
kemungkinannya ingatan terhadap satu obyek atau ide memicu ingatan terhadap
obyek atau ide satunya. Pandangan tentang pembelajaran asosiatif berperan besar
dalam banyak teori pembelajaran.
Tokoh lainnya yang juga
berpengaruh adalah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke ( 1632 – 1704
). John Locke mengembangkan sebuah aliran pandangan yang karakteristiknya
empiris tetapi membatasi dirinya sehingga tidak sampai benar – benar
eksprimental ( Heidbreder, 1933 ). Dalam tulisannya yang berjudul Essay
Concerning Human Understanding ( 1690 ), Locke menyampaikan bahwa tidak ada ide
– ide yang sifatnya bawaan, seluruh pengetahuan diperoleh dari dua tipe
pengalaman : persepsi atas dunia eksternal dan kesadaran diri. Pada saat lahir,
pikiran merupakan sebuah tabula rasa ( sebuah prasasti kosong ). Ide – ide
didapatkan dari persepsi – persepsi inderawi dan refleksi – refleksi personal
terhadap persepsi – persepsi ini. Tak ada satu hal pun yang ada dalam pikiran
yang tidak berasal dari panca indera. Pikiran tersusun atas ide – ide yang
telah dipadukan dengan cara yang berbeda – beda. Pikiran hanya bisa dipahami
dengan cara menguraikan ide – ide menjadi unit – unit yang sederhana. Pandangan
yang atomistik tentang pikiran ini beraliran asosianis, dimana ide – ide
kompleks dipahami sebagai kumpulan dari ide – ide yang lebih sederhana.
Ide yang diajukan oleh
Locke diperdebatkan oleh pemikir – pemikir berpengaruh seperti George Berkeley
( 1685 – 1753 ), David Hume ( 1711 – 1776 ) dan John Stuart Mill ( 1806 – 1873
). Berkeley menyakini bahwa pikiran adalah satu – satunya realita. Berkeley
adalah seorang penganut empirisme karena ia berpengang pada pandangan bahwa ide
– ide diperoleh dari pengalaman – pengalaman. Hume sepakat bahwa orang tidak
akan pernah bisa merasa pasti tentang realita eksternal, tetapi ia juga percaya
bahwa orang juga tidak bisa merasa pasti tentang ide – idenya sendiri. Masing –
masing induvidu menjalani realitas eksternal melalui ide – ide mereka dan ide –
ide inilah satu – satunya realiatas bagi mereka. Selain itu, Hume menerima
dalil empirisme yang mengatakan bahwa ide – ide menusia berasal dari pengalaman
dan kemudian menjadi saling berkaitan. Mill adalah seorang empiris sekaligus
asosianis, tetapi ia menolak pandangan yang mangatakan bahwa ide – ide
sederhana berpadu dengan tatanan – tatanan yang teratur untuk membentuk ide –
ide yang lebih kompleks. Mill berpendapat bahwa ide – ide sederhana
menghasilkan ide – ide yang kompleks, tetapi ide yang kompleks tidak mesti
terdiri dari ide – ide yang lebih sederhana. Ide – ide sederhana dapat
menghasilkan sebuah pemikiran yang kompleks yang mungkin tidak banyak
memperlihatkan hubungan yang jelas dengan ide – ide yang membentuknya.
Keyakinan – keyakinan Mill mencerminkan pandangan bahwa keseluruhan itu lebih
besar dibanding jumlah dari bagian – bagiannya. Pandangan ini merupakan asumsi
menyeluruh dari psikologi Gestalt ( Bab 5 ).
Ringkasnya, empirisme
berkeyakinan bahwa pengalaman merupakan satu – satunya bentuk pengetahuan. Di
awali Aristoteles, para empiris berpandangan bahwa dunia eksternal berfungsi
sebagai dasar dari persepsi – persepsi seseorang. Banyak orang yang menerima
pandangan bahwa obyek – obyek atau ide – ide saling berkaitan untuk membentuk
stimulus – stimulus kompleks atau pola – pola mental. Locke, Berkeley, Hume,
dan Mill adalah beberapa diantara filsuf – filsuf yang lebih dikenal sebagai
tokoh – tokoh yang mendukung pandangan – pandangan empirisme.
Meskipun posisi –
posisi filosofis dan teori – teori pembelajaran tidak terpetakan secara rapi
keterkaitannya antara satu sama lain, teori pengkondisian biasanya beraliran
empirisme sementara teori kognitif biasanya beraliran rasionalis. Kemiripan –
kemiripan pemikiran antar teori sering ditemukan dalam hal ini. Misalnya
sebagian besar teori berpendapat bahwa banyak proses pembelajaran terjadi
melalui asosiasi atau keterkaitan – keterkaitan. Teori – teori kognitif
memberikan fokus pada pada asosiasi antara kognisi dan pandangan, sementara
teori pengkondisian menekankan asosiasi antara stimulus – stimulus bersama
respon – responnya dan akibat – akibatnya.
4.
Matematika Sekolah
4.1.
Konsepsi
Matematika
sekolah dengan sederhana dapat dikatakan bahwa menjadi sejauh dan seluas yang
dapat dibuat oleh pengajarnya. Barakali itu merupakan suatu diskusi yang hidup
dan menarik dengan diketahui secara langsung yang membentuk, memawas diri,
memadukan dan dengan demikian meningkatkan jenjang pengertian dan pengetahuan.
Barangkali mata pelajarannya berupa “pembahasan” pengertian dan pekerjaan yang
telah ditentukan sebelumnya dan dipelajari dari persediaan yang sudah ada,
untuk kemudian diterapkan dalam keadaan atau situasi seperti dirumuskan dalam
soal – soal latihan dan ujian, dan tingkat penguasaannya menentukan kemajuan
pelajarn di sekolah. Sudah barang tentu ada kemungkinan bahwa dalam kedua hal
itu dibicarakan isi matematika yang sama. Akan tetapi yang menentukan dalam
proses pembelajaran adalah bagaimana caranya hal tersebut dibicarakan, dan
dalam pengalaman mana hal – hal tersebut dijadikan. Ini lebih dari hanya
masalah metodik, di sini juga terletak pengertian matematika secara mendasar
dan filsafat pendidikan yang mendasarinya.
Konsepsi
– konsepsi pelajaran berdasarkan orientasi filsafatnya masing – masing dapat
berbeda – beda. Ditunjukkan Demuth ( Herman Maer, 1966, hal 8 ) dalam contoh –
contoh berikut, yang setiap kali dapat dijumpai dalam ruang sekolah dan sarana
dan prasarana pelajaran.
Konsepsi
pertama: matematika berorientasi formalistis. Pengertian “modern” seperti
himpunan, hubungan, fungsi, kelompok, vector, diperkenalkan dan dimasukkan
dengan definisi dan dihubungkan satu sama lain dalam sitem yang disusun secara
deduktif.
Konsepsi
kedua : Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya. Titik tolaknya adalah
tema yang diambil dari jangkauan pengalaman siswanya. Matematika sekolah
mempunyai tugas untuk mematematiskan keadaan sekelilingnya mengenai kadar
matematisnya.
Konsepsi
ketiga : Heuristik, yaitu sistem yang siswanya dilatih untuk menemukan sesuatu
secara mandiri. Menurut Polya ( Ibid hal 8 ), heuristik berupaya untuk memahami
permulaan pemecahan masalahnya, terutama cara pemikiran yang dalam proses ini
secara khas dapat digunakan. Konsepsi heuristik ingin mengarahkan siswa dengan
cara – cara penemuan, merangsang penelitian dan perekaan, dengan demikian
meningkatkan minat terrhadap matematika.
Konspsi
keempat : matematika sebagai perkakas. Disini kesiapan sangat menonjol ke
depan, yang sering hanya digunakan sebagai kesiapan teknis. Matematika ini
kemudian baru dipahami dan dinilai kemungkinan penerapannya.
4.2.
Pengertian dan Kegiatan
Pengertian
matemtika lebih sedikit mengenai benda, namun lebih banyak mengenai cara
memperhatikan dan memahami. Dalam arti ini Von Hentig ( Ibid hal 9 ) matematika
merupakan “stasiun akhir stukturalisme yang ketat”. Maka itu sifat asli
struktur matematika tidak boleh diabaikan.
Menurut ahli matematika
Prancis Walunsinski ( Ibid hal 9 ) mengambarkan suatu perputaran yang
menggambarkan kegiatan matematika dan tempat keududukan model – model
matematika.
|
|||
Konfrontasi
Sifat
– sifat nyata situasi keluarnya adalah relatif : proses perputaranyang
digambarkan tersebut seolah – olah menggambarkan juga suatu perkitaran dalam
garis ulir sekrup. Hal ini selalu dapat diteruskan lagi dalam tingkat kegiatan
matematika yang baru dan lebih tinggi. Tiap perkitaran memberikan gambaran baru
tentang situasi keluarnya. Mungkin ketika saling menghadapkan ( konfrontasi )
gambaran lama dan baru aka nada pertanyaan, seberapa jauh pengertian tentang
situasinya menjadi lebih jelas dan menjadi lebih baik, dan apa imbalan
penjelasan tersebut. Penjelasan dan aspek – aspek yang tidak dianggap relevan.
Matemtika sekolah menurut Walunsinski sama sekali tidak boleh membatasi
peralihan secara deduktif dari model ke teori, melainkan sedapat mungkin harus
mengikut sertakan semua kegiatan yang ditunjukkannya dan juga bukan untuk
mendorong – dorong siswa siswa agar secepat mungkin ke atas samapai pada
pengertian dan teori yang abstrak. Lebih – lebih peningkatan ke atas itu
pembuatan tema. Kata Von Hentig :” Abstraksi seharusnya, diajarakan sebagai
proses, dan tidak sebagai hasil.” ( Ibid hal 10 ). Menurut kamlah dan Lorensen
( Ibid hal 11 ) proses abstraksi juga mencakup pembentukkan pengertian secara
berturut – turut. Pengertian dan pemahaman memerlukan situasi model yang masih
dapat dibuat lebih tepat, seperti juga tercantum dalam kata – katanya.
4.3.
Karakteristik
Matematika
sekolah menurut Ebbutt,
S. and Straker, A. (1995) ( Marsigit, Elegi The Nature of Mathematics and School Mathematics ) mendifiniskan sebagai berikut :
a.
Mathematics is a search for patterns and
relationship
b.
Mathematics is a creative activity, involving
imagination, intuition and discovery
c. Mathematics
is a way of solving problems
d. Mathematics
is a means of communicating information or ideas
Dari
definisikan tersebut diperoleh karakteristik matematika sekolah ( Marsigit, hal
5 ) sebagai berikut :
a. Matematika
sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran
matematika adalah:
1) memperoleh
kesempatan untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk
menentukan hubungan matematika,
2)
memperoleh kesempatan untuk melakukan percobaan matematika dengan berbagai
cara,
3)
memperoleh kesempatan untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan,
pengelompokan, dalam matematika,
4)
memperoleh kesempatan untuk menarik kesimpulan umum (membuktikan rumus),
5)
memahami dan menemukan hubungan antara pengertian matematika yang satu dengan
yang lainnya.
b. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan
imajinasi,intuisi dan penemuan
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran
matematika adalah:
1)
mempunyai inisiatif untuk mencari penyelesaian persoalan matematika,
2)
mempunyai rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan
kemampuan memperkirakan,
3)
menghargai penemuan yang diluar perkiraan sebagai hal bermanfaat,
4)
berusaha menemukan struktur dan desain matematika,
5)
menghargai penemuan siswa yang lainnya,
6)
mencoba berfikir refleksif, yaitu mencari manfaat matematika
7)
tidak hanya menggunakan satu metode saja dalam menyelesaikan matematika
c. Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem
solving)
Pedoman bagi guru dan
siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1)
diperlukan lingkungan belajar matematika
yang merangsang timbulnya persoalan
matematika,
2) memecahkan persoalan matematika menggunakan
caranya sendiri,
3)
mengumpulkan informasi yang diperlukan
untuk memecahkan persoalan matematika,
4)
memerlukan kegiatan berpikir logis,
konsisten, sistematis dan membuat catatan,
5)
mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan persoalan matematika,
6)
mempelajari cara menggunakan berbagai
alat peraga matematika seperti : jangka, kalkulator, penggaris, busur derajat,
dsb.
d. Matematika sebagai alat berkomunikasi
Pedoman bagi guru dan
siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1)
berusaha mengenali dan menjelaskan sifat-sifat matematika,
2)
berusaha membuat contoh-contoh persoalan matematika sendiri,
3)
mengetahui alasan mengapa siswa perlu mempelajari matematika,
4)
mendiskusikan penyelesaian soal-soal matematika dengan teman yang lain,
5)
mengerjakan contoh soal dan soal-soal matematika,
6) menjelaskan jawaban siswa kepada
teman yang lain.
5.
Aplikasi Ketakjuban Curiosity Komunikasi ( KCK )
Dari
uraian di atas terdapat 3 poin penting yakni :
1.
Matematika sekolah seluas guru dalam
artian bagaimana matematika sekolah, seperti apa matematika sekolah lebih
banyak ditentukan oleh guru sebagai fasilitator dan motivator. Keberhasilan dan
tidaknya matematika sekolah secara filsafat ditentukan oleh guru.
2.
Matematika sekolah suatu kegiatan siswa,
karenanya siswa harus menikmati dan mencintai kegiatan tersebut. Tanpa rasa
nikmat dan cinta maka kegiatan tidak dapat terlaksana secara optimal.
3.
Karakteristik matematika yang abstraks
dengan sifat kebenarannya yang koheren ( Rasionalisme ), maka harus disampaikan
oleh guru dalam bentuk korespondensi, sesuai dengan tingkat kebenaran yang
dipahami siswa ( empirisme ).
Ketiga
hal tersebut menjadi dasar pemikiran untuk mengintervensi pembelajaran
matematika sekolah dengan unsur filsafat, salah satu unsur filsafat tersebut
adalah ketakjuban, curiosity dan komunikasi ( KCK ).
Inti
keberhasilan pembelajaran matematika sekolah adalah siswa cinta dengan
matematika sekolah. Rasa cinta muda mudi, biasanya dimulai dari rasa takjub (
terkesan ) pada pasangannya, ketakjuban ini bukan suatu kebebalan atau suatu
yang harus dimasukkan dalam apoke tetapi harus ditindak lanjuti. Bentuk tindak
lanjut berupa rasa ingin tahu ( curiosity ), rasa ingin tahu nama, alamat, no
kontak, orang tua dst. Tahap berikutnya adalah komunikasi dalam artian formal,
normatif dan spiritual.
Analog
dengan tahap cinta muda mudi, pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan
tahapan serupa :
1.
Katakjuban
Guru
harus mampu membuat siswa takjub pada matematika sekolah, ketakjuban siswa
dapat terhadap materi, guru atau siswa itu sendiri.
a.
Takjub terhadap materi
Dapat
dikemas dalam pembelajaran melalui kegiatan apersepsi dan motivasi, misal :
menampilkan bagaimana bermanfaatnya materi tersebut dalam kehidupan, bagaimana
materi tersebut menyelesaikan permasalahan kehidupan yang rumit, apa jadinya
jika tidak ada materi tersebut bagi kehidupan, bagiamana suatu fenomena dan
neumena dikaji oleh materi tersebut dsb
b.
Takjub terhadap guru
Siswa
harus terkesan dengan performa guru, performa tersebut dapat berupa kompetensi
pedagogik, sosial, profesional dan kepribadian.
c.
Takjub terhadap siswa sendiri
Guru
harus dapat membangkitkan kepercayaan diri siswa itu sendiri, siswa harus
merasa bangga diri karena dia adalah sosok pilihan yang layak untuk mempelajari
matematika sekolah.
2.
Curiosity
Ketakjuban
yang dimiliki oleh siswa bukan merupakan suatu kebebalan atau suatu harus
dibuang ke ruang kosong ( Apoke ) tetapi merupakan suatu ketakjuban yang harus
ditindak lanjuti. Tindak lanjut dari ketakjuban adalah curiosity ( rasa ingin
tahu ). Sifat curiosity ini akan menghantarkan siswa pada suatu kegiatan tidak
dalam keadaan terpaksa. Kegiatan tersebut adalah :
a.
Matematika
sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
b. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan
imajinasi,intuisi dan penemuan
c.
Matematika
sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
d.
Matematika sebagai
alat berkomunikasi
Sesuai dengan
definisi Ebbutt, S.
and Straker, A. (1995) dan karakteristik matematika sekolah
menurut Marsigit ( Petunjuk umum dan khusus Matematika SMP )
3.
Komunikasi
Ketakjuban
dan curiosity harus senantiasa dipelihara dan dipupuk pada setiap diri siswa.
Kedua hal tersebut dapat terpelihara dan berkembang secara terus menerus maka
diperlukan suatu skema untuk memeliharanya, skema tersebut adalah komunikasi
baik dalam artian formal, normatif maupun spiritual.
Komunikasi yang
dilakukan guru dan siswa tidak harus dibatasi ruang dan waktu, komunikasi harus
dapat berlangsung anywhere dan anytime. Karenanya guru harus membuat suatu
skema sehingga komunikasi dengan siswa terus berlangsung kapanpun dan
dimanapun. Salah satu bentuk skema tersebut ( modifikasi skema kuliah filsafat
ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit,MA ) sebagai berikut :
a.
Guru membuat blog yang berisi beraneka
macam matematika sekolah dapat berupa materi, cerita dan soal
b. Siswa
membuat blog sendiri – sendiri.
c. Siswa
menjadi follower guru
d.
Siswa berkewajiban membuat komentar pada
blog guru meliputi materi ( merangkum ), cerita ( tanggapan ) dan soal (
penyelesaian ).
e. Komentar
dievaluasi bersama – sama tiap pertemuan berikutnya.
Secara
bagan bentuk KCK ini sebagai berikut :
BAB III
KESIMPULAN
1. Matematika
sekolah seluas guru dalam artian bagaimana matematika sekolah, seperti apa
matematika sekolah lebih banyak ditentukan oleh guru sebagai fasilitator dan
motivator. Keberhasilan dan tidaknya matematika sekolah secara filsafat
ditentukan oleh guru.
2. Matematika
sekolah suatu kegiatan siswa, karenanya siswa harus menikmati dan mencintai
kegiatan tersebut. Tanpa rasa nikmat dan cinta maka kegiatan tidak dapat
terlaksana secara optimal.
3. Karakteristik
matematika yang abstraks dengan sifat kebenarannya yang koheren ( Rasionalisme
), maka harus disampaikan oleh guru dalam bentuk korespondensi, sesuai dengan
tingkat kebenaran yang dipahami siswa ( empirisme ).
4. Bentuk
intervensi pembelajaran matematika sekolah dengan unsur filsafat, salah satunya
yang penulis beri nama ketakjuban, curiosity dan komunikasi ( KCK ).
Daftar Pustaka
Dale H. Schunk, 2012. Teori – Teori Pembelajaran Perspektif
Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Herman Maer, 1996. Kompendium Dikdaktik Matematika. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya
Marsigit, ..Buku Pedoman Umum dan Khusus Pembelajaran
Matematika SMP.Jakarta : Yusdistira
Mukhtar, 2007. 10 kiat sukses mengajar di kelas. Jakarta : PT. Nimas Multima.
Marsigit, The Nature
of Mathematics and School Mathematics