Sabtu, 10 November 2012

KETAKJUBAN CURIOSITY KOMUNIKASI (KCK) ALTERNATIF PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH


BAB I
PENDAHULUAN

Matematika bagi seseorang merupakan suatu kesenangan mental yang mengandung sifat ilmiah dan kunci guna memahami gejala – gejala alam, teknik, dan masyarakat. Tetapi bagi banyak orang, matematika itu menimbulkan kenangan masa sekolah yang memberatkan dan menganggap matematika merupakan “buku yang terkunci dengan tujuh segel”, yang dihadapi tanpa ada hubungan atau pengertian sedikitpun.
Perbedaan pendapat sangat mencolok tersebut, penyebab utamanya adalah cara pengajaran matematika itu sendiri. Pendapat tersebut, selaras dengan pendapat Piaget ( Herman Maer, 1966, hal 1 ) “ suatu kelompok siswa yang cukup cerdas dan bahkan dalam mata pelajaran lain dapat membuktikan hasil yang baik sekali, dalam pelajaran matematika  sedikit banyak  secara sistematis memenuhi kegagalan”. Menurut Strunz ( ibid hal 1 ) “ sama sekali tidak benar, hasil belajar seorang pelajar dalam bidang studi matematika, hanya karena mempunyai bakat atau tidak mempunyai bakat, dan adanya atau tidak adanya kerajinan dalam mata pelajaran tersebut.”
Pendapat Piaget dan Strunz pendapat di atas menegaskan bahwa masalah utama kegagalan matematika sekolah menjadi mata pelajaran yang sulit, tidak menyenangkan dan menjadi momok siswa terletak pada proses pembelajarannya, bukan karena bakat atau kerajinan . Pemilihan skema oleh guru dalam pembelajaran sangat menentukan keberhasilan dan kegagalan matematika sekolah menjadi mata pelajaran yang menyenangkan dan familiar bagi siswa. Dari tahun ke tahun, dari kurikulum pra 1975 sampai pada kurikulum Standar Isi, telah banyak direkomendasikan pendekatan, strategi, model, metode dan teknik ( skema ) dalam proses pembelajaran, tetapi hasilnya belum cukup mengembirakan. Keberhasilan yang diklaim seseorang dengan skema tertentu lebih bersifat keberhasilan parsial dalam ruang dan waktu tertentu tidak bersifat holistik. Keberhasilan di suatu tempat tidak menjamin akan menjadi keberhasilan di tempat yang berbeda. Keberhasilan di suatu waktu tidak menjamin akan menjadi keberhasilan di waktu yang lain.
Berdasarkan uraian di atas, timbul suatu pertanyaan skema pembelajaran yang bagaimana yang relatif permanen, sehingga matematika sekolah menjadi menyenangkan dan familiar dengan siswa ? Dari hasil perenungan penulis maka penulis memberikan suatu altenatif skema pembelajaran yaitu skema yang dikembangkan melalui pendekatan filsafat.  Skema tersebut penulis sebut dengan “ KETAKJUBAN CURIOSITY KOMUNIKASI ( KCK )”.























BAB II
PEMBAHASAN

1. Ketakjuban dan Curiosity
Filsafat berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan Plato yang terungkap dalam Theaetetus (CDP 155d) dan digemakan oleh banyak filsuf lain selama berabad-abad. Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang menggiring manusia  untuk mencari makna yang mendasar di balik keragaman hayati manusia, yang mendorong manusia ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu baru.
Ketakjuban berkaitan terutama dengan kekaguman  manusia terhadap pengalamannya yang amat beragam, khususnya pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami pengalaman itu sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang paling dasar ialah ketakjuban tentang makna kehidupan. Manusia tak bisa memuaskan ketakjuban itu cuma dengan menyusun teori metafisis, mempertajam keterampilan pemikiran logis , atau memperdalam kedalaman dan jangkauan pengetahuan . Alih-alih, makna kehidupan muncul secara bertahap dari kemauan manusia untuk terbuka terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib” 
Blaise Pascal (1623-1662) ialah salah satu contoh filsuf terbaik yang menghargai nilai kejut yang terdapat pada pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan antara pengakuan semacam itu dan ketakjuban filosofis. Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi dengan pasal-pasal yang mengungkapkan ketegangan eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini:
What a chimera then is man! What a novelty! What a monster, what a chaos, what a contradiction, what a prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and error; the pride and refuse of the universe!
… Know then, proud man, what a paradox you are to yourself. Humble yourself, weak reason; be silent, foolish nature; learn that man infinitely transcends man, and learn from your Master your true condition, of which you are ignorant. Hear God….
Whence it seems that God, willing to render the difficulty of our existence unintelligible to ourselves, has concealed the knot so high, or better speaking, so low, that we are quite incapable of reaching it; so that it is not by the proud exertions of our reason, but by the simple submissions of reason, that we can truly know ourselves. (PP 434)
(Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga diri dan sampah alam semesta!
… Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol; ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu, yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. …
Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak terpahami, menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah, sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya; sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja, bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita sendiri.) (PP 434)
Paradoks-paradoks Pascal membawa manusia melampaui cara pandang kealamannya sehari-hari, dan memperhadapkan manusia dengan kenyataan transenden yang misterinya mengobarkan ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati .




2. Komunikasi
Bagaimanakah seharusnya guru melihat pelaksanaan interaksi dengan siswanya? Kecuali untuk hal yang sangat berlainan, semua guru diharuskan dapat mengadakan interaksi dengan baik tanpa bantuan seorang ahli kependidikan.
Interaksi antara manusia dewasa banyak mengalami kegagalan karena tidak semua pihak memperhatikan apa yang dimaksud oleh yang lain. Persoalan interaksi di dalam kelas, bagi guru sering merupakan kesulitan karena komunikasi berlangsung antara orang dewasa dengan yang belum dewasa. Apalagi bila diingat bahwa komunikasi dan interaksi itu harus bersifat khusus, yakni edukatif. Bukan hanya menyampaikan pikiran – pikiran dan narasi, tetapi menyampaikan pikiran – pikiran dan narasi yang mendidik.
Persoalan interaksi tidak terlepas dari persoalan komunikasi. Interaksi siswa dengan guru terletak pada komunikasi yang baik serta hubungan yang terjadi dalam menyampaikan suatu pesan ( message ). Jadi, interaksi juga tidak terlepas dari unsur – unsur yang terdapat dalam komunikasi, seperti adanya komunikator, komunikan, pesan dan media. Keempat unsur ini akan melahirkan umpan balik yang disebut interaksi. Dengan demikian, konsepsi komunikasi mengandung pengertian memberitahukan pesan, pengetahuan, pikiran – pikiran dengan maksud menggugah partisipasi seorang komunikan, sehingga persoalan – persoalan yang dibicarakan menjadi milik dan tanggung jawab bersama
Secara garis besar, Surakhmad ( Mukhtar, 2007, hal. 8 ), menggolongkan interaksi menjadi tiga :
a.       Pengalaman riil, yakni segenap media di dalam dunia kehidupan sehari – hari.
b.      Pengalaman buatan, yakni segenap media yang sengaja diciptakan untuk mendekatkan pengertian pada pengalaman riil.
c.       Pengalaman verbal, dimana bahasa adalah alat utama, baik lisan maupun tulisan.



3. Pembelajaran
Dari sebuah perspektif filosofi, pembelajaran dapat diduskusikan di bawah judul epistemologi yang mengacu pada studi tentang asal mula, karakteristik, batasan – batasan dan metode – metode pengetahuan. Bagaimana kita bisa tahu? Bagaimana kita bisa belajar sesuatu yang baru? Apa yang menjadi sumber dari pengetahuan? Kompleksitas tentang bagaimana manusia belajar diilustrasikan dalam kutipan teks dari meno yang ditulis oleh Plato ( 427 – 347 SM ) :
Aku tahu apa maksudmu, Meno....kau berkata bahwa seorang manusia tidak dapat menanyakan (sic ) tentang hal yang diketahuinya; karena jika ia tahu, ia tidak perlu bertanya ( sic ); dan jika ia tahu, ia tidak bertanya; karena ia tidak tahu perihal yang harus ia tanyakan ( sic ). ( 1956, hal.16 ).
Dua posisi yang ada pada asal mula pengetahuan dan keterkaitannya dengan lingkungannya adalah rasionalisme dan empirisme. Kedua posisi ini dapat dikenali dalam teori – teori pembelajaran dewasa ini.
Rasionalisme mengacu pada gagasan bahwa pengetahuan diperoleh dari akal tanpa melalui panca indera. Perbedaan antara pikiran dan materi yang sangat ditonjolkan dalam pandangan – pandangan rasionalis terhadap pengetahuan manusia dapat dirunut dari Plato yang membedakan antara pengetahuan yang didapatkan dari panca indera dan pengetahuan yang didapat dari akal. Plato menyakini bahwa benda – benda ( misalnya : rumah, pohon ) ditampilkan manusia melalui panca indera, sementara tiap – tiap induvidu memperoleh ide – ide dari menalar atau berpikir tentangnya. Akal merupakan perangkat mental tertinggi karena melalui akal manusia mempelajari gagasan – gagasan abstrak. Karakteristik yang sejati dari rumah dan pepohonan dapat diketahui hanya dengan memikirkan gagasan – gagasan tentang rumah dan pepohonan.
Plato terbebas dari dilema yang ditampilkan daam Meno dengan cara berasumsi bahwa pengetahuan sejati atau pengetahuan tentang gagasan – gagasan itu merupakan bawaan sejak lahir dan dibawa ke alam sadar melalui perenungan atau aktivitas berpikir. Balajar adalah mengingat kembali apa yang telah ada di dalam pikiran. Informasi yang diperoleh melalui panca indera dengan cara mengamati, mendengarkan, merasai, membuai, atau menyentuh merupakan bahan – bahan mentah, bukan gagasan. Pikiran manusia telah terstruktur dari lahir untuk tujuan berpikir dan memberi makna pada informasi – informasi yang datang dari indera.
Doktrin rasionalis juga dapat ditemukan dalam tulisan – tulisan Rene Descartes ( 1596 – 1650 ), seorang filsuf dan ahli matematika Perancis. Descartes menggunakan keraguan sebagai suatu metode penelitian. Dengan meragukan ia sampai pada kesimpulan – kesimpulan yang merupakan kebenaran mutlak, bukan kesimpulan – kesimpulan yang tunduk pada keraguan. Kenyataan bahwa ia dapat meragukan menuntunnya pada keyakinan bahwa akal ( pikiran ) itu ada, sebagaimana yang disampaikannya dalam sebuah ungkapan, “ Aku berpikir, maka aku ada” ( I think, therefore I am ). Melalui pemikiran deduktif yang bermula dari premis – premis umum lalu mengarah ke contoh – contoh spesifik, ia membuktikan bahwa Tuhan itu ada dan menyimpulkan bahwa gagasan – gagasan yang diperoleh melalui akal pasti benar.
Seperti Plato, Descartes membentuk dualisme pikiran – materi, tetapi bagi Descartes dunia eksternal itu mekanis seperti halnya perilaku binatang. Manusia berbeda karena kemampuannya untuk berpikir. Jiwa manusia, atau kapasitas untuk menalar, mempengaruhi tindakan – tindakan mekanis tubuh, tetapi tubuh bertindak berdasarkan pikiran dengan cara membawa masuk pengalaman – pengalaman indrawi. Meskipun Descartes mendalilkan dualisme, ia juga membuat hipotesis tentang interaksi pikiran dan materi.
Perspektif rasionalis dikembangkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Immanuel Kant ( 1924 – 1804 ). Dalam tulisannya yang berjudul Critique of Pure Reason ( 1781 ), Kant membicarakan tentang dualisme pikiran – materi dan mengatakan bahwa dunia eksternal itu tidak teratur tapi dirasakan teratur karena ada keteraturan yang diberikan oleh pikiran. Pikiran membawa masuk dunia eksternal melalui panca indera dan mengubahnya menurut aturan – aturan yang subyektif dan telah ada sejak lahir. Dunia tidak pernah dapat diketahui sebagimana apa adanya. Dunia hanya diketahui sebagaimana ia dirasakan. Persepsi – persepsi manusia memberikan keteraturan terhadap dunia. Kant menekankan kembali peran akal sebagai sebuah sumber pengetahuan, tetapi ia berpendapat bahwa akal beroperasi dalam ranah pengalaman. Pengetahuan mutlak yang tidak tersentuh oleh dunia eksternal tidak memiliki keberadaan. Pengetahuan itu empiris dalam artian bahwa informasi dibawa masuk dari dunia, lalu diinterpretasikan oleh pikiran.
Ringkasannya, rasionalisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa pengetahuan muncul melalui pikiran. Meskipun terdapat dunia eksternal yang menjadi sumber informasi inderawi seseorang, ide – ide berasal dari aktivitas – aktivitas pikiran. Descartes dan Kant menyakini bahwa akal bertindak berdasarkan informasi yang didapatkan dari dunia. Plato berpikir bahwa pengetahuan dapat bersifat absolut dan diperoleh melalui akal murni.
Kebalikan dari rasionalisme, empirisme mengacu pada pemikiran bahwa pengalaman adalah satu – satunya sumber pengetahuan. Sudut pandang ini berasal dari Aristoteles ( 384 – 322 SM ). Aristoteles adalah siswa dan penerus Plato. Aristoteles tidak membuat garis pemisah yang tajam antara pikiran dan materi. Dunia eksternal merupakan landasan bagi persepsi – persepsi inderawi manusia yang nanti pada gilirannya akan diinterpretasikan sebagai sesuatu yang tetap dengan aturan – aturannya sendiri ( konsisten, tidak berubah ) oleh pikiran Hukum – hukum alam tidak dapat ditemukan melalui persepsi inderawi, tetapi melalui akal ketika pikiran memasukkan data dari lingkungan. Tidak seperti Plato, Aristoteles berpandangan bahwa ide – ide tidak hadir sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dari dunia eksternal. Dunia eksternal merupakan sumber dari segala pengetahuan.
Aristoteles memberikan sumbangan penting ilmu psikologi dengan prinsip – prinsip asosiasinya yang diterapkan terhadap memori. Ingatan akan suatu obyek atau gagasan memicu obyek – obyek atau gagasan – gagasan lainnya yang mirip dengan, atau berbeda dari, atau yang dekat jarak atau waktu pengalamannya dari, obyek atau ide awalnya. Makin besar hubungan atau asosiasi antara dua obyek atau dua ide, makin besar kemungkinannya ingatan terhadap satu obyek atau ide memicu ingatan terhadap obyek atau ide satunya. Pandangan tentang pembelajaran asosiatif berperan besar dalam banyak teori pembelajaran.
Tokoh lainnya yang juga berpengaruh adalah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke ( 1632 – 1704 ). John Locke mengembangkan sebuah aliran pandangan yang karakteristiknya empiris tetapi membatasi dirinya sehingga tidak sampai benar – benar eksprimental ( Heidbreder, 1933 ). Dalam tulisannya yang berjudul Essay Concerning Human Understanding ( 1690 ), Locke menyampaikan bahwa tidak ada ide – ide yang sifatnya bawaan, seluruh pengetahuan diperoleh dari dua tipe pengalaman : persepsi atas dunia eksternal dan kesadaran diri. Pada saat lahir, pikiran merupakan sebuah tabula rasa ( sebuah prasasti kosong ). Ide – ide didapatkan dari persepsi – persepsi inderawi dan refleksi – refleksi personal terhadap persepsi – persepsi ini. Tak ada satu hal pun yang ada dalam pikiran yang tidak berasal dari panca indera. Pikiran tersusun atas ide – ide yang telah dipadukan dengan cara yang berbeda – beda. Pikiran hanya bisa dipahami dengan cara menguraikan ide – ide menjadi unit – unit yang sederhana. Pandangan yang atomistik tentang pikiran ini beraliran asosianis, dimana ide – ide kompleks dipahami sebagai kumpulan dari ide – ide yang lebih sederhana.
Ide yang diajukan oleh Locke diperdebatkan oleh pemikir – pemikir berpengaruh seperti George Berkeley ( 1685 – 1753 ), David Hume ( 1711 – 1776 ) dan John Stuart Mill ( 1806 – 1873 ). Berkeley menyakini bahwa pikiran adalah satu – satunya realita. Berkeley adalah seorang penganut empirisme karena ia berpengang pada pandangan bahwa ide – ide diperoleh dari pengalaman – pengalaman. Hume sepakat bahwa orang tidak akan pernah bisa merasa pasti tentang realita eksternal, tetapi ia juga percaya bahwa orang juga tidak bisa merasa pasti tentang ide – idenya sendiri. Masing – masing induvidu menjalani realitas eksternal melalui ide – ide mereka dan ide – ide inilah satu – satunya realiatas bagi mereka. Selain itu, Hume menerima dalil empirisme yang mengatakan bahwa ide – ide menusia berasal dari pengalaman dan kemudian menjadi saling berkaitan. Mill adalah seorang empiris sekaligus asosianis, tetapi ia menolak pandangan yang mangatakan bahwa ide – ide sederhana berpadu dengan tatanan – tatanan yang teratur untuk membentuk ide – ide yang lebih kompleks. Mill berpendapat bahwa ide – ide sederhana menghasilkan ide – ide yang kompleks, tetapi ide yang kompleks tidak mesti terdiri dari ide – ide yang lebih sederhana. Ide – ide sederhana dapat menghasilkan sebuah pemikiran yang kompleks yang mungkin tidak banyak memperlihatkan hubungan yang jelas dengan ide – ide yang membentuknya. Keyakinan – keyakinan Mill mencerminkan pandangan bahwa keseluruhan itu lebih besar dibanding jumlah dari bagian – bagiannya. Pandangan ini merupakan asumsi menyeluruh dari psikologi Gestalt ( Bab 5 ).
Ringkasnya, empirisme berkeyakinan bahwa pengalaman merupakan satu – satunya bentuk pengetahuan. Di awali Aristoteles, para empiris berpandangan bahwa dunia eksternal berfungsi sebagai dasar dari persepsi – persepsi seseorang. Banyak orang yang menerima pandangan bahwa obyek – obyek atau ide – ide saling berkaitan untuk membentuk stimulus – stimulus kompleks atau pola – pola mental. Locke, Berkeley, Hume, dan Mill adalah beberapa diantara filsuf – filsuf yang lebih dikenal sebagai tokoh – tokoh yang mendukung pandangan – pandangan empirisme.
Meskipun posisi – posisi filosofis dan teori – teori pembelajaran tidak terpetakan secara rapi keterkaitannya antara satu sama lain, teori pengkondisian biasanya beraliran empirisme sementara teori kognitif biasanya beraliran rasionalis. Kemiripan – kemiripan pemikiran antar teori sering ditemukan dalam hal ini. Misalnya sebagian besar teori berpendapat bahwa banyak proses pembelajaran terjadi melalui asosiasi atau keterkaitan – keterkaitan. Teori – teori kognitif memberikan fokus pada pada asosiasi antara kognisi dan pandangan, sementara teori pengkondisian menekankan asosiasi antara stimulus – stimulus bersama respon – responnya dan akibat – akibatnya.

4. Matematika Sekolah
4.1. Konsepsi
Matematika sekolah dengan sederhana dapat dikatakan bahwa menjadi sejauh dan seluas yang dapat dibuat oleh pengajarnya. Barakali itu merupakan suatu diskusi yang hidup dan menarik dengan diketahui secara langsung yang membentuk, memawas diri, memadukan dan dengan demikian meningkatkan jenjang pengertian dan pengetahuan. Barangkali mata pelajarannya berupa “pembahasan” pengertian dan pekerjaan yang telah ditentukan sebelumnya dan dipelajari dari persediaan yang sudah ada, untuk kemudian diterapkan dalam keadaan atau situasi seperti dirumuskan dalam soal – soal latihan dan ujian, dan tingkat penguasaannya menentukan kemajuan pelajarn di sekolah. Sudah barang tentu ada kemungkinan bahwa dalam kedua hal itu dibicarakan isi matematika yang sama. Akan tetapi yang menentukan dalam proses pembelajaran adalah bagaimana caranya hal tersebut dibicarakan, dan dalam pengalaman mana hal – hal tersebut dijadikan. Ini lebih dari hanya masalah metodik, di sini juga terletak pengertian matematika secara mendasar dan filsafat pendidikan yang mendasarinya.
Konsepsi – konsepsi pelajaran berdasarkan orientasi filsafatnya masing – masing dapat berbeda – beda. Ditunjukkan Demuth ( Herman Maer, 1966, hal 8 ) dalam contoh – contoh berikut, yang setiap kali dapat dijumpai dalam ruang sekolah dan sarana dan prasarana pelajaran.
Konsepsi pertama: matematika berorientasi formalistis. Pengertian “modern” seperti himpunan, hubungan, fungsi, kelompok, vector, diperkenalkan dan dimasukkan dengan definisi dan dihubungkan satu sama lain dalam sitem yang disusun secara deduktif.
Konsepsi kedua : Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya. Titik tolaknya adalah tema yang diambil dari jangkauan pengalaman siswanya. Matematika sekolah mempunyai tugas untuk mematematiskan keadaan sekelilingnya mengenai kadar matematisnya.
Konsepsi ketiga : Heuristik, yaitu sistem yang siswanya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri. Menurut Polya ( Ibid hal 8 ), heuristik berupaya untuk memahami permulaan pemecahan masalahnya, terutama cara pemikiran yang dalam proses ini secara khas dapat digunakan. Konsepsi heuristik ingin mengarahkan siswa dengan cara – cara penemuan, merangsang penelitian dan perekaan, dengan demikian meningkatkan minat terrhadap matematika.
Konspsi keempat : matematika sebagai perkakas. Disini kesiapan sangat menonjol ke depan, yang sering hanya digunakan sebagai kesiapan teknis. Matematika ini kemudian baru dipahami dan dinilai kemungkinan penerapannya.
4.2. Pengertian dan Kegiatan
Pengertian matemtika lebih sedikit mengenai benda, namun lebih banyak mengenai cara memperhatikan dan memahami. Dalam arti ini Von Hentig ( Ibid hal 9 ) matematika merupakan “stasiun akhir stukturalisme yang ketat”. Maka itu sifat asli struktur matematika tidak boleh diabaikan.
Oval: Pengamatan
Penghayatan
PertanyaanMenurut ahli matematika Prancis Walunsinski ( Ibid hal 9 ) mengambarkan suatu perputaran yang menggambarkan kegiatan matematika dan tempat keududukan model – model matematika.







Oval: Pengabstrakan
Pemilihan
Penggelompokkan
Pembentukan


Model matematika
 

 


 












Oval: Argumentasi 
deduksi
Oval: Pemasukan prinsip dan gambaran



 



Konfrontasi
 




Sifat – sifat nyata situasi keluarnya adalah relatif : proses perputaranyang digambarkan tersebut seolah – olah menggambarkan juga suatu perkitaran dalam garis ulir sekrup. Hal ini selalu dapat diteruskan lagi dalam tingkat kegiatan matematika yang baru dan lebih tinggi. Tiap perkitaran memberikan gambaran baru tentang situasi keluarnya. Mungkin ketika saling menghadapkan ( konfrontasi ) gambaran lama dan baru aka nada pertanyaan, seberapa jauh pengertian tentang situasinya menjadi lebih jelas dan menjadi lebih baik, dan apa imbalan penjelasan tersebut. Penjelasan dan aspek – aspek yang tidak dianggap relevan. Matemtika sekolah menurut Walunsinski sama sekali tidak boleh membatasi peralihan secara deduktif dari model ke teori, melainkan sedapat mungkin harus mengikut sertakan semua kegiatan yang ditunjukkannya dan juga bukan untuk mendorong – dorong siswa siswa agar secepat mungkin ke atas samapai pada pengertian dan teori yang abstrak. Lebih – lebih peningkatan ke atas itu pembuatan tema. Kata Von Hentig :” Abstraksi seharusnya, diajarakan sebagai proses, dan tidak sebagai hasil.” ( Ibid hal 10 ). Menurut kamlah dan Lorensen ( Ibid hal 11 ) proses abstraksi juga mencakup pembentukkan pengertian secara berturut – turut. Pengertian dan pemahaman memerlukan situasi model yang masih dapat dibuat lebih tepat, seperti juga tercantum dalam kata – katanya.
4.3. Karakteristik
Matematika sekolah menurut Ebbutt, S. and Straker, A. (1995) ( Marsigit, Elegi The Nature of Mathematics and School Mathematics ) mendifiniskan sebagai   berikut :
a.       Mathematics is a search for patterns and relationship
b.      Mathematics is a creative activity, involving imagination, intuition and   discovery
c.       Mathematics is a way of solving problems
d.      Mathematics is a means of communicating information or ideas
Dari definisikan tersebut diperoleh karakteristik matematika sekolah ( Marsigit, hal 5 ) sebagai berikut :
a.  Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1)   memperoleh kesempatan untuk melakukan kegiatan penemuan dan penyelidikan pola-pola untuk menentukan hubungan matematika,
2) memperoleh kesempatan untuk melakukan percobaan matematika dengan berbagai cara,
3) memperoleh kesempatan untuk menemukan adanya urutan, perbedaan, perbandingan, pengelompokan, dalam matematika,
4) memperoleh kesempatan untuk menarik kesimpulan umum (membuktikan rumus),
5) memahami dan menemukan hubungan antara pengertian matematika yang satu dengan yang lainnya.
b. Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi,intuisi dan penemuan
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1) mempunyai inisiatif untuk mencari penyelesaian persoalan matematika,
2) mempunyai rasa ingin tahu, keinginan bertanya, kemampuan menyanggah dan kemampuan memperkirakan,
3) menghargai penemuan yang diluar perkiraan sebagai hal bermanfaat,
4) berusaha menemukan struktur dan desain matematika,
5) menghargai penemuan siswa yang lainnya,
6) mencoba berfikir refleksif, yaitu mencari manfaat matematika
7) tidak hanya menggunakan satu metode saja dalam menyelesaikan matematika
c. Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1)  diperlukan lingkungan belajar matematika yang merangsang timbulnya  persoalan matematika,
2)   memecahkan persoalan matematika menggunakan caranya sendiri,
3)  mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk memecahkan persoalan matematika,
4)  memerlukan kegiatan berpikir logis, konsisten, sistematis dan membuat catatan,
5) mengembangkan kemampuan dan ketrampilan untuk memecahkan   persoalan matematika,
6)   mempelajari cara menggunakan berbagai alat peraga matematika seperti : jangka, kalkulator, penggaris, busur derajat, dsb.
d. Matematika sebagai alat berkomunikasi
Pedoman bagi guru dan siswa dalam pembelajaran matematika adalah:
1) berusaha mengenali dan menjelaskan sifat-sifat matematika,
2) berusaha membuat contoh-contoh persoalan matematika sendiri,
3) mengetahui alasan mengapa siswa perlu mempelajari matematika,
4) mendiskusikan penyelesaian soal-soal matematika dengan teman yang lain,
5) mengerjakan contoh soal dan soal-soal matematika,
6) menjelaskan jawaban siswa kepada teman yang lain.

5. Aplikasi Ketakjuban Curiosity Komunikasi ( KCK )
Dari uraian di atas terdapat 3 poin penting yakni :
1.      Matematika sekolah seluas guru dalam artian bagaimana matematika sekolah, seperti apa matematika sekolah lebih banyak ditentukan oleh guru sebagai fasilitator dan motivator. Keberhasilan dan tidaknya matematika sekolah secara filsafat ditentukan oleh guru.
2.      Matematika sekolah suatu kegiatan siswa, karenanya siswa harus menikmati dan mencintai kegiatan tersebut. Tanpa rasa nikmat dan cinta maka kegiatan tidak dapat terlaksana secara optimal.
3.      Karakteristik matematika yang abstraks dengan sifat kebenarannya yang koheren ( Rasionalisme ), maka harus disampaikan oleh guru dalam bentuk korespondensi, sesuai dengan tingkat kebenaran yang dipahami siswa ( empirisme ).
Ketiga hal tersebut menjadi dasar pemikiran untuk mengintervensi pembelajaran matematika sekolah dengan unsur filsafat, salah satu unsur filsafat tersebut adalah ketakjuban, curiosity dan komunikasi ( KCK ).
Inti keberhasilan pembelajaran matematika sekolah adalah siswa cinta dengan matematika sekolah. Rasa cinta muda mudi, biasanya dimulai dari rasa takjub ( terkesan ) pada pasangannya, ketakjuban ini bukan suatu kebebalan atau suatu yang harus dimasukkan dalam apoke tetapi harus ditindak lanjuti. Bentuk tindak lanjut berupa rasa ingin tahu ( curiosity ), rasa ingin tahu nama, alamat, no kontak, orang tua dst. Tahap berikutnya adalah komunikasi dalam artian formal, normatif dan spiritual.
Analog dengan tahap cinta muda mudi, pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan tahapan serupa :
1.    Katakjuban
Guru harus mampu membuat siswa takjub pada matematika sekolah, ketakjuban siswa dapat terhadap materi, guru atau siswa itu sendiri.
a.       Takjub terhadap materi
Dapat dikemas dalam pembelajaran melalui kegiatan apersepsi dan motivasi, misal : menampilkan bagaimana bermanfaatnya materi tersebut dalam kehidupan, bagaimana materi tersebut menyelesaikan permasalahan kehidupan yang rumit, apa jadinya jika tidak ada materi tersebut bagi kehidupan, bagiamana suatu fenomena dan neumena dikaji oleh materi tersebut dsb
b.      Takjub terhadap guru
Siswa harus terkesan dengan performa guru, performa tersebut dapat berupa kompetensi pedagogik, sosial, profesional dan kepribadian.
c.       Takjub terhadap siswa sendiri
Guru harus dapat membangkitkan kepercayaan diri siswa itu sendiri, siswa harus merasa bangga diri karena dia adalah sosok pilihan yang layak untuk mempelajari matematika sekolah.
2.    Curiosity
Ketakjuban yang dimiliki oleh siswa bukan merupakan suatu kebebalan atau suatu harus dibuang ke ruang kosong ( Apoke ) tetapi merupakan suatu ketakjuban yang harus ditindak lanjuti. Tindak lanjut dari ketakjuban adalah curiosity ( rasa ingin tahu ). Sifat curiosity ini akan menghantarkan siswa pada suatu kegiatan tidak dalam keadaan terpaksa. Kegiatan tersebut adalah :
a.       Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan
b.      Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi,intuisi dan penemuan
c.       Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving)
d.      Matematika sebagai alat berkomunikasi
Sesuai dengan definisi Ebbutt, S. and Straker, A. (1995) dan karakteristik matematika sekolah menurut Marsigit ( Petunjuk umum dan khusus Matematika SMP )
3.    Komunikasi
Ketakjuban dan curiosity harus senantiasa dipelihara dan dipupuk pada setiap diri siswa. Kedua hal tersebut dapat terpelihara dan berkembang secara terus menerus maka diperlukan suatu skema untuk memeliharanya, skema tersebut adalah komunikasi baik dalam artian formal, normatif maupun spiritual.
Komunikasi yang dilakukan guru dan siswa tidak harus dibatasi ruang dan waktu, komunikasi harus dapat berlangsung anywhere dan anytime. Karenanya guru harus membuat suatu skema sehingga komunikasi dengan siswa terus berlangsung kapanpun dan dimanapun. Salah satu bentuk skema tersebut ( modifikasi skema kuliah filsafat ilmu oleh Prof. Dr. Marsigit,MA ) sebagai berikut :
a.    Guru membuat blog yang berisi beraneka macam matematika sekolah dapat berupa materi, cerita dan soal
b.    Siswa membuat blog sendiri – sendiri.
c.    Siswa menjadi follower guru
d.   Siswa berkewajiban membuat komentar pada blog guru meliputi materi ( merangkum ), cerita ( tanggapan ) dan soal ( penyelesaian ).
e.    Komentar dievaluasi bersama – sama tiap pertemuan berikutnya.
Secara bagan bentuk KCK ini sebagai berikut :










 


Text Box: KOMUNIKASIText Box: CURIOSITYText Box: RESPON             











BAB III
KESIMPULAN

1.    Matematika sekolah seluas guru dalam artian bagaimana matematika sekolah, seperti apa matematika sekolah lebih banyak ditentukan oleh guru sebagai fasilitator dan motivator. Keberhasilan dan tidaknya matematika sekolah secara filsafat ditentukan oleh guru.
2.    Matematika sekolah suatu kegiatan siswa, karenanya siswa harus menikmati dan mencintai kegiatan tersebut. Tanpa rasa nikmat dan cinta maka kegiatan tidak dapat terlaksana secara optimal.
3.    Karakteristik matematika yang abstraks dengan sifat kebenarannya yang koheren ( Rasionalisme ), maka harus disampaikan oleh guru dalam bentuk korespondensi, sesuai dengan tingkat kebenaran yang dipahami siswa ( empirisme ).
4.    Bentuk intervensi pembelajaran matematika sekolah dengan unsur filsafat, salah satunya yang penulis beri nama ketakjuban, curiosity dan komunikasi ( KCK ).














Daftar Pustaka

Dale H. Schunk, 2012. Teori – Teori Pembelajaran Perspektif Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Herman Maer, 1996. Kompendium Dikdaktik Matematika. Bandung : PT Remaja Rosdakarya
Marsigit, ..Buku Pedoman Umum dan Khusus Pembelajaran Matematika SMP.Jakarta : Yusdistira
Mukhtar, 2007. 10 kiat sukses mengajar di kelas. Jakarta : PT. Nimas Multima.
Marsigit, The Nature of Mathematics and School Mathematics